- Tetap Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19
PANDEMI Covid-19 yang terjadi pada 2019 hingga 2021 telah menjadi momok yang sangat menakutkan di belahan dunia. Covid-19 telah berdampak ke segala sektor. Sektor usaha kecil dan menengah pun tak luput terkena imbas. Usaha berskala kecil akan mudah kolaps di tengah situasi PANDEMI sedemikian rupa.
Menurunnya daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19 juga sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan UMKM. Krisis ekonomi yang dialami UMKM tanpa disadari dapat menjadi ancaman bagi perekonomian nasional.
Berbagai terobosan kebijakan membangkitkan gairah usaha pun telah dilakukan, baik melalui seminar-seminar, motifasi, hingga penguatan permodalan, walau belum mampu menyentuh semua UMKM yang tersebar hingga ke pelosok negeri.
Demikian halnya dengan usaha virgin coconut oil (VCO) yang dirintis Herman Belutowe, pria kelahiran 7 April 1948. Ia merintis usahanya di Dusun Riba, Desa Hoelea 2, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata sejak 2009 lalu.
Pada Senin, 16 Agustus 2021, sore itu, saat saya bertandang ke rumahnya, ia bersama istrinya baru pulang dari kebun memungut kelapa untuk diproses menjadi VCO.
“Sekarang ini kelapa agak susah. Harga kopra lagi naik, jadi banyak yang buat kopra,” katanya membuka percakapan dengan VN.
Karena itu, ia dan istrinya terpaksa turun tangan langsung ke kebun memungut kelapa di kebun, mengupas dan membawanya pulang untuk diproses.
“Pada 2017-2018 saya percaya diri sekali karena pesanan begitu banyak. Saya sampai bangun rumah produksi untuk dukung produksi minyak kelapa murni ini,” kenangnya.
Waktu itu, permintaan sangat tinggi. Ia bahkan kesulitan memenuhi permintaan di pasar lokal Kedang, karena harus mengutamakan pemesanan dari sejumlah apotek di Maumere, Kabupaten Sikka, Jakarta, Jawa Tengah, hingga Batam, di Kepulauan Riau.
Untuk memenuhi tingginya permintaan, ia bahkan merekrut tiga karyawan untuk membantunya dalam proses produksi, mengingat jika mulai proses pembuatan VCO, tidak bisa dihentikan di tengah proses, tetapi harus dikerjakan hingga tahapan akhir.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, ia harus melayani permintaan dari Jawa Tengah sebanyak 20 liter (empat jerigen ukuran lima liter), Bogor, Jakarta, Jombang, Maumere. Ia harus mampu memproduksi 50 hingga 60 liter untuk mampu memenuhi permintaan itu. Bahkan, tingginya permintaan dari luar yang harus dipenuhinya, kadang membuat ia mengabaikan pasar lokal.
Semua berjalan begitu baik dan membuatnya kian percaya diri untuk mengembangkan usahanya. Selain merekrut karyawan di unit produksi, ia juga membangun kerja sama dengan apotek di Maumere. Kerja sama dengan sistem barter itu membuat usahanya kian maju. Pihak apotek menyediakan botol dan label kemasan, lalu dibarter dengan VCO yang ia produksi. Kerja sama itu terus berjalan hingga kini.
Di tengah permintaan yang terus meningkat, ia justru kesulitan mendapatkan pasokan kelapa. Kenapa bisa demikian? Faktor penyebabnya adalah karena harga kopra di pasar meningkat menyebabkan masyarakat lebih memilih memproduksi kopra ketimbang menjual kelapa gelondongan.
Namun, ia tak putus asa. Untuk menjamin produksi VCO terus berjalan, ia mulai mendatangi para pemilik kelapa untuk membeli langsung di kebun. Jika biasanya harga kelapa Rp1.000 per buah, ia bahkan berani menaikkan harga hingga Rp1.500 per buah.
“Kalau tidak begitu nanti produksi tidak lancar dan pemesan jadi kecewa. Jadi terpaksa saya kasih naik harga sampai Rp1.500,” kata Herman.
Kegigihannya berjuang membuahkan hasil. Produksi VCO menjadi lancar, dan ia pun mendapatkan penerimaan yang lumayan tinggi. Dari hasil penjualan itu, ia lalu memberanikan diri membangun rumah produksi sekaligus rumah tinggal untuk keluarganya.
Oh ya, di tengah permintaan yang terus meningkat, ia pun membekali VCO miliknya dengan dokumen pendukung.
Herman Belutowe pun memulai proses perizinannya mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga ke tingkat provinsi. Untuk mendapatkan kesesuaian tempat usaha, ia menghubungi pihak Dinas Pekerjaan Umum dan kemudian baru memulai proses jenis perizinan lainnya, baik izin produksi dari Dinas Perdagangan dan Industri, SITU, SIUP, tanda daftar perusahaan, tanda daftar industri, hingga izin kelaikan produk dari Balai POM.
Setelah berpeluh di tengah menjamin produksi berjalan lancar dan proses perizinan, ia boleh puas karena pada 2011 izinnya baru keluar. Setelah memiliki izin resmi, ia semakin percaya diri.
Lalu, VCO yang diproduksi, apakah sudah memiliki nama. Tentu saja sudah. Untuk mendapatkan nama yang menjadi brand VCO, Herman Belutowe sempat berkonsultasi dengan Anthanasius Aur Amuntoda atau yang akrab disapa Sius Amuntoda, mantan Plt Sekda Lembata. Dari diskusi dan konsultasinya itu, Sius Amuntoda lalu memberi nama VCO Sio Sao. Nama itu kemudian digunakannya hingga saat ini dan terpampang pada kemasan VCO produksinya itu.
Berapa harga rata-rata VCO Sio Sao dijual ke pasar. Untuk pemasaran, ia tak main-main soal harga. Dijual jauh maupun dekat sekalipun, ia tetap memasang bandrol Rp35 ribu per botol ukuran 100 mililiter. Untuk luar daerah tentu saja ditambah ongkos kirim ya.
Kebahagiaan dan kebanggan produksi VCO Sio Sao yang sudah berjalan begitu bagus dan menjanjikan tiba-tiba saja nyaris hilang dari peredaran. Betapa tidak, pandemi Covid-19 yang melanda jagat raya ternyata berimbas sangat besar pada usaha mikro kecil milik Herman Belutowe ini.
Sejak 2020 saat Covid-19 merajalela, produksinya menurun drastis. Pelanggan-pelanggan di pulau Jawa seakan hilang ditelan pandemi Covid-19 yang kian ganas. Akibatnya, sejak 2020, ia pun bahkan tak lagi memproduksi karena tak adanya permintaan. Usahanya nyaris kolaps.
Namun, baru pada awal Agustus, angin segar itu datang kembali. Dua apotek langgananya di Maumere dan satu apotek di Lewoleba mulai memesan produk VCO Sio Sao. Tak itu saja, salah satu pelanggan lamanya di Bogor memesan produk VCO Sio Sao. Tak tanggung-tanggung, untuk pemesanan pertamanya ini, mereka memesan 100 botol ukuran 100 mililiter.
Mendapatkan pesanan sebanyak itu, ia pun langsung bergairah dan mulai menghubungi rekan bisnisnya di Maumere untuk mendatangkan botol berlabel VCO Sio Sao.
Bersama istrinya, ia langsung ke kebun mengumpulkan kelapa untuk diproses VCO.
Di tengah masa pandemi Covid-19 ia berusaha bangkit dari keterpurukan yang dialami belakangan ini. Ia tentunya berharap, pemerintah bisa memberikan suport untuk kemajuan usahanya.
Selama ini, ia mengaku belum mendapatkan suport dana dan peralatan dari pemerintah. Pemerintah melalui dinas teknis terkait pun belum memberikan bantuan peralatan. Mereka pun baru tahu ada industri kecil VCO Sio Sao saat ia mengikuti pelatihan guna mendapatkan syarat kesehatan dari Balai POM.
Ketika petugas dari dinas turun melihat rumah produksinya, baru mereka tahu bahwa kualitas minyaknya jauh lebih baik dari produksi VCO lain di Lembata. Sayangnya, intervensi peralatan sudah telanjur dibagikan semua kepada kelompok-kelompok tersebut. Akhirnya rumah industri VCO Sio Sao pun terlewatkan.
Walau masih berupaya bangkit dengan modal sendiri, Herman Belutowe berkeyakinan ia bisa memproduksi VCO berkualitas baik yang melalui empat proses penyulingan, sehingga selain menghasilkan VCO berkualitas, VCO Sio Sao pun bisa lebih tahan lama.
“Sekarang saya sudah mulai dengan apa yang ada di sini. Saya masih butuh mesin listrik untuk antisipasi listrik PLN padam. Karena kalau kelapa sudah dikupas, tidak bisa dilepas lagi, harus diproses sampai selesai,” kata Herman Belutowe.
Ia juga masih berjuang mendapatkan keterangan halal dari MUI untuk menjamin produk VCO Sio Sao yang sudah diminati itu halal dan dapat diterima di semua kalangan. (Tim LembataNews)