(Terjemahan dari The Pope Monk)
LEWOLEBA – SELAMA tiga hari terakhir, Paus Fransiskus yang berbaring dengan tenang di dalam peti jenazah telah menjadi sumber kepedihan, penghiburan, harapan, dan rasa syukur.
Kita berduka dan berduka atas meninggalnya “Lolo Kiko” (Kakek Kiko – panggilan untuk Sri Paus) kita, tetapi lebih dari itu, kita bersyukur kepada Tuhan karena telah menganugerahi kita seorang gembala sejati bagi orang miskin dan nabi belas kasih serta harapan di zaman kita.
Tetapi perhatikan lebih dekat kaki Paus. Sepasang sepatu hitam yang kusut dan penuh luka itu kini telah menjadi saksi dan ringkasan yang baik dari kepausannya: kehidupan yang sederhana dan penerimaan murid terhadap kenyataan bahwa menjadi seorang gembala dan nabi berarti menjadi kusut karena usia dan terluka oleh tuntutan mereka.

Seperti Tuhan yang Bangkit–Gembala Agung–yang menyimpan bekas luka sengsara-Nya dalam tubuh-Nya yang dimuliakan, Paus Fransiskus, mengikuti Gurunya, mengenakan sepatu yang kusut dan penuh luka.
Sama seperti bekas luka di tubuh Tuhan yang bangkit tidak berbicara tentang kuasa kematian dan dosa, tetapi menyatakan kuasa cinta yang mengosongkan diri, sepatu Paus Fransiskus yang kusut dan penuh bekas luka ini mencerminkan cara-caranya yang sederhana dalam mengikuti Gurunya dan pendirinya, St. Ignatius dari Loyola: melayani tanpa menghitung biaya.
Karena kemuliaan Kebangkitan, pelayanan, dan cinta paling baik ditunjukkan dalam tanda-tanda pengorbanan yang dilakukan dengan sukarela.**
* Bengkel Nurani, 26 April 2025
Dikutip dari Facebook Geradus Meko, SVD