- Leye, dan Sekelumit Kisah Jadi Makanan Utama Suku Leuhoe
KABUPATEN Lembata memiliki begitu banyak jenis pangan lokal. Pangan lokal yang sudah dikonsumsi masyarakat secara turun temurun itu, masih tetap dipertahankan hingga saat ini. Hanya saja, kemajuan perkembangan zaman, dan pergeseran pola konsumsi dari pangan lokal ke pangan beras, menyebabkan kebiasaan mengkonsumsi pangan lokal pun perlahan mulai ditinggalkan
Akibatnya, aneka ragam jenis pangan lokal yang selama ini gencar dibudidayakan itu pun, perlahan mulai ditinggalkan. Akhirnya, karena tidak rutin dikonsumsi, masyarakat lalu mulai perlahan meninggalkan dan tak lagi membudidayakannya secara rutin. Dampaknya tentu sama sama sudah diketahui. Komoditas pangan lokal itu pun perlahan lenyap dan terancam punah.
Salah satu jenis pangan lokal yang nyaris punah di tanah Lembata adalah leye (bahasa Kedang) atau dalam bahasa Indonesia disebut jelai atau jali-jali.
Pangan lokal masyarakat Kedang ini, saat ini sudah jarang dikembangkan oleh masyarakat Kedang khususnya, dan Lembata pada umumnya. Kepunahan tanaman leye semakin m ngkhawatirkan.
Beruntung, masyarakat adat di Hoelea, Kecamatan Omesuri sejauh ini masih membudidayakan tanaman leye yang ditanam khusus di Leu Tuan (kampung lama) Leuhoe di Desa Hoelea 2.
Masih dibudidayakannya tanaman leye oleh masyarakat adat Leuhoe ini tak lepas dari tradisi mengkonsumsi leye. Ada sebagian suku di Hoelea secara turun-temurun hanya mengkonsumsi pangan lokal jenis leye ini. Para ibu dari suku-suku tertentu tidak dibolehkan mengkonsumsi pangan beras dan jagung, dan hanya bisa mengkonsumsi leye yang oleh masyarakat dikenal dengan istilah “puting” atau pantangan.
Karena pantangan inilah maka masyarakat adat Leuhoe wajib menanam leye setiap musim tanam, selain untuk dikonsumsi oleh para ibu yang puting beras dan jagung (Anen dan watar) juga untuk menjamin pasokan leye selalu ada.
Selama ini, leye pun ditanam oleh masyarakat adat Leuhoe dan Leu Tuan Leuhoe menjadi pusat penanaman leye. Di tempat ini, hanya diperbolehkan menjadi lahan tanam leye dan aneka umbi-umbian. Sedangkan tanaman padi dan jagung tidak boleh di tanam di lokasi Leu Tuan Leuhoe.
Leye menjadi makanan utama masyarakat adat Leuhoe, memiliki sejarahnya tersendiri sebagaimana penuturan pelaku budaya Desa Hoelea 2 Marselinus Moi.
Ia mengisahkan, pada zaman dahulu kala, tinggalan satu keluarga dari Suku Leuhoe bernama Au Beni bersama istrinya Lomba Rian yang berasal dari Mata Mamuq, Desa Roma saat ini. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu Rian Au, Oreng Au, dan seorang anak perempuan bernama Meng Au.
Rian Au sebagai anaq meler (anak sulung), memiliki tiga orang anak, yaitu Hoeq Rian, Dale Rian, dan Boki Rian.
Hoeq Rian memiliki anak laki-laki bernama Leu Areq yang setiap hari kerjanya mengiris tuak. Setiap pagi dan sore hari ia pergi mengiris tuak. Di bawah pohon tuak yang ia iris, tumbuh sebatang jagung yang subur yang selalu dijaga, dibersihkan dan dirawatnya hingga berbunga dan berbuah.
Setiap hari, Leu Areq selalu menghampiri pohon jagung itu. Ia lalu berkata, “Kalau o noq areq rian, ei uq o jadi koq weq Rian”. (Kalau engkau menjelma menjadi perempuan, saya akan mengawinimu).
Hari pun terus berganti dan setiap hari, ia tak pernah lupa menjumpai jagung yang tumbuh di pohon tuak yang ia iris. Setiap kali pula ia mengulang ucapannya kepada jagung itu
Suatu pagi, ketika Leu Areq kembali ke pohon tuak yang ditumbuhi jagung untuk mengiris tuak, ia dikagetkan dengan hadirnya sosok perempuan yang sangat cantik di dekat pohon tuak. Jagung yang ia rawat dan temui selama ini, telah berubah wujud menjadi gadis jelita yang cantik rupawan.
Leu Areq lalu membawa gadis itu kembali ke rumah bertemu orangtuanya Hoeq Rian ya g kemudian mengawinkan anaknya Leu Areq dengan gadis cantik jelmaan jagung itu.
Perkawinan Leu Area dan gadis jelmaan jagung itu menghasilkan beberapa orang anak. Salah satunya adalah Ronaq Leu yang kemudian menikah dan turunannya antara lain Wereq Ronaq dan Omaq Ronaq.
Sejak saat itu, Suku Leuhoe pun mulai pantang memakan jagung, karena salah satu nenek moyang mereka jelmaan dari jagung. Tak hanya pantang jagung, Suku Leuhoe pun mulai pantang wereg (jewawut), juga omaq (bengo).
Tempat Tinggal Auq Beni
Au Beni tinggal di Leu Tuan (Kampung Lama) Leuhoe yakni di Murin Buri Maren O’ar.
Pada suatu hari, mereka melihat lamun lolon (rumput laut) tumbuh di Leu Tuan Leuhoe. Akhirnya mereka pun pindah ke tempat baru.
Di tempat tinggal yang baru itu, terjadi suatu kejadian yang sangat luar biasa. Langit dan awan tebal menyelimuti tempat tinggal mereka. Kampung itu menjadi gelap gulita.
Akhirnya Aku Beni bersama keluarganya membuat busur dan anak panah dari batang leye. Mata panahnya terbuat dari tulang manusia. Busur dan anak panah yang mereka buat itu mau digunakan untuk memanah awan tebal yang membuat kampung mereka menjadi gelap gulita.
Sebelum memanah, mereka terlebih dahulu membuat janji, tidak akan memakan jagung karena ibu dari turunan Leuhoe jelmaan dari jagung. Karena itu, mereka berjanji akan menjadikan leye sebagai makanan utama Suku Leuhoe.
Setelah membuat perjanjian itu, AU Beni lalu memanah ke langit, dan keajaiban pun terjadi. Awan gelap yang menutupi kampung lenyap seketika. Kampung mereka kembali terang dan mereka dapat hidup dengan damai.
Sejak saat itu, Suku Leuhoe tak lagi mengkonsumsi watar (jagung), omaq (benfo), dan Wereq (jewawut), serta motong (daun kelor).
Sehingga, mereka pun hanya mengkonsumsi leye dan di Leu Tuan Leuhoe hanya bisa ditanami leye dan umbi-umbian. Sedangkan jagung, padi, jewawut, dan bengo tak bisa ditanam di Leu Tuan Leuhoe.
Di Leu Tuan Leuhoe pun dibangun rumah adat suku-suku Leuhoe. Terdapat tujuh suku yang memiliki rumah adat di Leu Tuan Leuhoe, yakni Suku Leuhoe Tubar, Leuhoe Take, Leuhoe Payong, Suku Belutowe, Edangwala, Yaboki, dan Suku Nolowala.
Setiap tahun, selalu rutin digelar ritual di Leu Tuan Leuhoe. Terdapat empat jenis ritual yang digelar dalam satu tahun, yakni ritual miwaq mule atau tanam perdana, ritual bele witing tuaq, ritual kuq leye atau panen leye, dan terakhir ritual ka weru atau ritual makan hasil panen baru. Untuk ritual ka weru ini, seorang yang menjalani puting atau pantang, tidak diperkenankan mengkonsumsi hasil panen baru. Sebelum ritual ka weru, ia hanya boleh mengkonsumsi hasil panen tahun sebelumnya. Ia baru bisa mengkonsumsi hasil panen baru setelah menjalani ritual ka weru.
Itulah sekelumit kisah peradaban masyarakat Kedang di Leu Tuan Leuhoe, yang terus terjaga hingga saat ini. (Tim LembataNews)